Perencanaan
keluarga merupakan isu penting dalam kehidupan rumah tangga modern, terutama
dalam konteks menjaga kesehatan ibu, anak, serta kualitas kehidupan keluarga
secara umum. Namun, dalam masyarakat muslim, perencanaan keluarga seringkali
menimbulkan pertanyaan dari sisi syariah: apakah diperbolehkan dalam Islam?
Bagaimana batasan dan prinsipnya? Artikel ini mengkaji konsep perencanaan
keluarga dalam perspektif Islam, dengan pendekatan yang menyeimbangkan antara
aspek kesehatan dan tuntunan syariat.
Pengertian Perencanaan Keluarga (KB)
Perencanaan keluarga (KB) dalam konteks
kesehatan adalah usaha pasangan suami istri untuk mengatur jarak kelahiran,
jumlah anak, serta waktu kehamilan, agar kesehatan ibu, anak, dan keluarga
tetap terjaga. Dalam istilah medis, ini mencakup penggunaan alat kontrasepsi
yang aman dan sesuai kebutuhan.
Dalam Islam, istilah ini dapat dikaitkan dengan
“tandhīm al-nasl” atau
pengaturan keturunan, yang berbeda dengan “taṭwīf
al-nasl” (pembatasan total keturunan) yang dilarang secara
syar'i.
Landasan Syariah tentang Perencanaan Keluarga
1. Hadis
tentang ‘Azl (coitus interruptus)
Pada masa Rasulullah ﷺ, sahabat telah mempraktikkan ‘azl (mengeluarkan sperma di
luar rahim), dan Nabi tidak melarangnya:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ، فَلَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى
عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ
"Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah ﷺ, dan hal
itu tidak dilarang kepada kami." (HR.
Muslim)
Ini menunjukkan bahwa pengaturan kehamilan boleh dilakukan selama tidak
bertujuan menolak keturunan secara permanen, dan dengan persetujuan pasangan.
2.
Prinsip Maslahat dan Dharurat
Dalam maqāṣid asy-syarī‘ah (tujuan-tujuan
syariat), menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs) dan keturunan (ḥifẓ an-nasl) adalah
tujuan utama. Bila kehamilan yang terlalu sering mengancam kesehatan ibu atau
anak, maka perencanaan keluarga dapat menjadi solusi
maslahat dan diperbolehkan secara syariah.
Perencanaan Keluarga dalam Perspektif Kesehatan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ahli
medis menyarankan agar jarak antar kelahiran idealnya 3–5 tahun untuk menjaga
kesehatan ibu dan anak. Kehamilan yang terlalu sering dan terlalu dekat
jaraknya dapat menyebabkan:
ـ
Anemia pada ibu
ـ
Berat bayi lahir rendah
ـ
Risiko kematian ibu dan anak meningkat
Dalam hal ini, perencanaan keluarga bukan hanya
menjadi kebutuhan medis, tetapi juga
bentuk ikhtiar menjaga amanah kehidupan
yang diberikan Allah SWT.
Etika dan Batasan Perencanaan Keluarga dalam
Islam
1.
Tidak
dimaksudkan untuk menolak keturunan selamanya
Islam menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan sebagai bagian dari sunnah
Rasul dan kelangsungan umat.
2.
Dilakukan
atas dasar musyawarah suami istri
Keputusan merencanakan keluarga harus berdasarkan persetujuan bersama, bukan
paksaan sepihak.
3.
Menggunakan
metode yang halal dan tidak membahayakan
Alat kontrasepsi yang digunakan tidak boleh membahayakan tubuh dan tidak
mengandung unsur najis yang diharamkan.
4.
Tidak
dengan niat menolak rezeki
Menunda kehamilan karena takut miskin atau khawatir tidak mampu membiayai hidup
adalah bentuk su'uzhan kepada Allah, yang
dikecam dalam Islam. Allah berfirman:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan
kepadamu.”
(QS. Al-Isrā’: 31)
Jadi, perencanaan keluarga dalam Islam diperbolehkan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Islam menghargai
upaya manusia untuk menjaga kesehatan, merawat keluarga dengan baik, dan
membentuk keturunan yang berkualitas. Dengan niat yang benar, metode yang
halal, dan persetujuan pasangan, perencanaan keluarga justru dapat menjadi
bagian dari tanggung jawab syar’i dan moral
umat Islam dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Wallāhu
A‘lam biṣ-Ṣawāb.